Sultan Ing Martadipura Adji Muhammad Arifin Jalani Prosesi Beluluh
Tenggarong – Prosesi Beluluh untuk Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura Adji Muhammad Arifin, digelar di Kedaton Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, Rabu (21/09) pagi.
Prosesi adat tersebut dilaksanakan jelang Pesta adat, seni dan budaya Erau tahun 2022, yang diselenggarakan 20 September hingga 3 Oktober 2022 mendatang.
Adapun Prosesi Beluluh diadakan untuk mensucikan Sultan Kutai dari berbagai unsur kejahatan, baik yang terlihat maupun tidak terlihat. Pada ritual yang diadakan pada pagi hari ini, Sultan akan didudukkan disebuah balai dan menjalani sejumlah tahapan.
Saat ritual Beluluh dimulai, Sultan didudukkan sejenak diatas tilam kasturi. Tak berselang lama, Sultan akan bangkit dan menaiki balai bambu dengan memijak pada pusaka batu tijakan. Kemudian, Sultan duduk di bagian tertinggi dari balai, di bawah ikatan daun beringin (rendu) dan dipayungi selembar kain kuning yang disebut kirab tuhing.
Kemudian dilanjutkan dengan prosesi tepong tawar. Pada prosesi ini, Dewa (wanita pengabdi ritual) memercikkan air kembang ke sekeliling Sultan. Selanjutnya, Sultan mengusap kepalanya dengan air tersebut dan Dewa akan menaburkan beras.
Setelah Tepong Tawar selesai, dilakukan prosesi Menarik Ketikai Lepas. Ketikai Lepas adalah sejenis anyaman dari daun kelapa yang akan terurai jika ditarik kedua ujungnya. Pada ritual ini, Sultan akan memegang salah satu ujung dari anyaman daun tersebut, sedangkan ujung lainnya akan ditarik oleh seorang tamu kehormatan – yang biasanya pejabat daerah atau orang yang ditunjuk khusus oleh kerabat Kesultanan. Prosesi ini menjadi penutup dari Beluluh.
Sekretaris Panitia Erau Dedi, menerangkan Kegiatan Prosesi Beluluh itu dihadiri Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesra Sekretariat Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Akhmad Taufik Hidayat beserta unsur Forum Koordinsi Pimpinan Daerah, kerabat Kesultanan dan beberapa pejabat di lingkungan Pemkab Kukar.
“Beluluh berasal dari gabungan kata “buluh” yang berarti batang bambu dan “luluh” yang berarti musnah. Nama ini mengacu pada balai bambu bertingkat tiga yang digunakan sebagai singgasana bagi Sultan atau Putra Mahkota dalam upacara ini, “bebernya. (prokomkukar/pt)
Foto:IST