BMKG Diminta Tingkatkan Ketangguhan Bencana
JAKARTA - Indonesia memiliki resiko bencana geo hidrometeorologi yang tinggi. Jumlah kejadian bencana meningkat signifikan setiap tahunnya. Frekuensi dan intensitasnya terus meningkat, bahkan melompat. Bahkan mengalami multi bencana dalam waktu bersamaan.
“Dengan tantangan yang semakin meningkat maka kita harus meningkatkan ketangguhan kita terhadap bencana. Menguatkan manajemen penanganan bencana dan meningkatkan kemampuan antisipasi bencana untuk mengurangi resiko korban jiwa dan kerusakan harta benda,” ucap Presiden Joko Widodo dari Istana Negara saat membuka acara Rakorbangnas 2021 secara virtual yang mengusung tema “Info BMKG Kawal Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh”, Kamis (29/7/2021).
Dalam kesempatan tersebut, Presiden menekankan beberapa hal yang menjadi perhatian bersama untuk meningkatkan ketangguhan dalam menghadapi bencana.
Pertama, layanan BMKG harus disertai dengan inovasi-inovasi yang mengikuti perkembangan teknologi terbaru. Adaptasi teknologi yang tinggi untuk observasi, analisis, prediksi, dan peringatan dini secara lebih cepat dan akurat agar lebih mampu meminimalkan risiko yang harus dihadapi
Kedua, peringatan BMKG harus digunakan sebagai rujukan dalam pengambilan keputusan pemerintah di berbagai sektor. Informasi dari BMKG, seperti kekeringan, cuaca ekstrem, gempa, dan kualitas udara, harus menjadi perhatian dan acuan bagi berbagai sektor dalam merancang kebijakan dan pembangunan.
Kebijakan nasional dan daerah juga harus betul-betul sensitif dan antisipatif terhadap kerawanan bencana. Untuk itu, Presiden meminta agar sinergi dan kolaborasi antara BMKG dengan kementerian dan lembaga, serta pemerintah daerah harus terus diperkuat.
“BMKG harus mampu memberikan layanan informasi yang akurat, yang dapat diperoleh dengan cepat dan mudah. Sehingga informasi dan data dari BMKG tersebut bisa digunakan oleh kementerian dan lembaga, serta pemerintah daerah dalam merancang kebijakan dan merencanakan pembangunan,” tegasnya.
Ketiga, pentingnya peningkatan kapasitas manajemen penanggulangan dan adaptasi bencana, terutama di tingkat daerah dari tingkat kelurahan, desa, hingga provinsi secara terus menerus.
“Harus ada desain manajemen yang jelas yang melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat, sejak fase prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana. Manajemen ini juga perlu disimulasi dan dilatih sehingga ketika terjadi bencana kita sudah sangat siap, langsung bekerja dengan cepat,” ujarnya.
Terakhir, perlu adanya edukasi yang berkelanjutan kepada masyarakat, terutama masyarakat di wilayah rawan bencana.
“Kesiagaan dan ketangguhan masyarakat atas ancaman bencana perlu terus ditingkatkan. Budaya kesiagaan harus melembaga dalam keseharian masyarakat, manfaatkan juga kearifan lokal yang sudah ada dalam masyarakat untuk memperkuat ketahanan masyarakat terhadap bencana,” kata Presiden.
Ditambahkan Presiden, masyarakat juga perlu diedukasi untuk mencari dan memanfaatkan informasi yang benar yang disediakan oleh sumber-sumber resmi, sehingga tidak mudah terjebak pada kabar dan berita-berita bohong.
“Saya minta BMKG bukan hanya menyampaikan informasi cuaca, iklim, gempa, dan tsunami yang lebih cepat dan dengan jangkauan yang lebih luas pada masyarakat, tetapi bersinergi bersama BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) mengedukasi masyarakat bagaimana bersiap menghadapi bencana,” tandasnya.
Sebagai informasi, kejadian bencana gempa bumi pada kurun waktu tahun 2008-2016 rata-rata 5.000-6.000 kali dalam satu tahun. Pada tahun 2017 meningkat menjadi 7.169 kali dan tahun 2019 jumlahnya meningkat signifikan menjadi lebih dari 11.500 kali.
Cuaca ekstrem dan siklon tropis juga meningkat frekuensinya, durasi, dan intensitasnya. Periode ulang terjadinya El Nino atau La Nina pada periode 1981-2020, cenderung semakin cepat, dua sampai dengan tiga tahunan, dibandingkan periode 1950-1980, yang berkisar lima sampai dengan tujuh tahunan. (cht)